Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek
dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala
hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan
kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden
Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Abdurrahman
Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001
tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif
(hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek
resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri mulai tahun 2003.
Pada tahun 1946, ketika Republik Indonesia baru berdiri, Presiden
Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah 1946 No.2/Um tentang “Aturan tentang
Hari Raya” tertanggal 18 Juni 1946. Penetapan Pemerintah tersebut
ditanda-tangani oleh Presiden Sukarno, dan diketahui oleh Menteri Agama H.
Rasjidi, dan diumumkan pada tanggal 18 Juni 1946 oleh Sekretariat Negara A.G.
Pringgodigdo.
Penetapan Pemerintah mengenai "Aturan tentang Hari
Raya" tersebut ditetapkan karena pertimbangan perlunya diadakan aturan
tentang hari raya, dan setelah mendengar masukan dari Badan Komite Nasional
Pusat. Penetapan Pemerintah tersebut terdiri dari 8 (delapan) pasal yang dibagi
ke dalam Aturan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 5), Aturan Khusus (Pasal 6
dan Pasal 7), dan Aturan Tambahan (Pasal 8).
Yang dimaksud dengan Aturan Umum
adalah aturan yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh golongan rakyat
Indonesia. Aturan Khusus adalah aturan yang bersifat khusus dan hanya berlaku
untuk golongan tertentu saja sebagaimana yang disebutkan dalam Penetapan
Pemerintah ini. Pasal 1 mengatur mengenai Hari raya Umum yang terdiri dari 2
hari raya sebagai-berikut:
- Tahun Baru, 1 Januari;
- Hari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus.
Pasal 2 mengatur mengenai Hari Raya Islam (terdiri
dari 8 (delapan) hari raya). Pasal 3 untuk Hari Raya Kristen (terdiri dari 5
(lima) hari raya). Pasal 4 mengatur hari raya khusus untuk etnis Tionghoa
sebagai-berikut: Hari Raya Tiong Hwa (ejaan baru adalah Tionghoa) ialah,
terdiri dari:
- Tahun Baru (Catatan: Tahun Baru orang Tiong Hwa yaitu tahun baru Imlek - Ancient Chinese: 歲首; literally: "year's start", juga dikenal sebagai 春節 Lunar New Year, Spring Festival);
- Hari Wafatnya N. Khong Hu Cu (Catatan: 至聖忌辰 18 bulan 2 Imlek. Singkatan N. adalah singkatan dari Nabi);
- Tsing Bing (Catatan: Qingming (清明) / Cheng Beng (Bahasa Hokkian);
- Hari Lahirnya N. Khong Hu Cu (Catatan: 至聖誕, 27 bulan 8 Imlek).
Pasal 5 menyatakan sebagai berikut: "Pada Hari Raya
Umum, Islam dan Kristen, maka semua kantor Pemerintah ditutup, kecuali
kantor-kantor pejabatan penting yang menurut pendapat kepalanya harus dibuka
sehari atau setengah hari. Pada hari Raya Tiong Hwa, maka semua kantor
Pemerintah dibuka setengah hari, kecuali kantor-kantor pejabatan penting yang
menurut pendapat kepalanya harus dibuka sehari, sedangkan pegawai bangsa Tiong
Hwa diwajibkan masuk kantor".
Aturan Khusus, Pasal 6 menetapkan tanggal
dan hari yang dirayakan untuk Tahun 1946, yang terdiri dari hari dan tanggal
untuk Hari Raya Umum, Hari Raya Islam, Hari Raya Kristen, dan Hari Raya Tiong
Hwa. Untuk tahun 1946, "Hari Raya Tiong Hwa ditetapkan sebagai-berikut:
- Tahun Baru 2 Februari 1946 (Catatan: Tahun Masehi);
- Hari Wafatnya N. Khong Hu Cu 29 Maret 1946 (Catatan: Tahun Masehi);
- Tsing Bing 5 April 1946 (Catatan: Tahun Masehi); dan 4. Hari Lahirnya N. Khong Hu Cu 22 September 1946 (Catatan: Tahun Masehi)".
Aturan Khusus, Pasal 7 menyatakan bahwa
"untuk seterusnya, buat tiap-tiap tahun, Hari Raya tersebut ditetapkan
oleh Menteri Agama". Aturan Tambahan, Pasal 8 menyatakan bahwa
"Peraturan ini mulai berlaku pada hari diumumkan". Dengan demikian
berdasarkan Penetapan Pemerintah 1946 No.2/Um tentang “Aturan tentang Hari
Raya” tertanggal 18 Juni 1946 secara tegas dapat dinyatakan bahwa Hari Raya
Tahun Baru Imlek Kongzili merupakan hari raya Agama Tionghoa yang ditujukan
khusus hanya kepada etnis Tionghoa.
Hari Raya khusus etnis Tionghoa yang terdiri dari 4 (empat) hari raya
sebagaimana yang dijelaskan di atas hanya berlaku dari periode 18 Juni 1946
sampai dengan 1 Januari 1953. Hari Raya khusus etnis Tionghoa tersebut
dihapuskan seluruhnya secara resmi melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 1953 tentang "Hari-Hari Libur" tertanggal 1
Januari 1953, yang ditanda-tangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia H.
Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer sebagai Bung Hatta
dengan masa jabatan sebagai Wakil Presiden dari tanggal 18 Agustus 1945 - 1
Desember 1956).
Catatan: Walaupun menggunakan judul surat "Keputusan
Presiden Republik Indonesia", namun keputusan ini tidak ditanda-tangani
oleh Presiden Republik Indonesia. Besar Kemungkinan Presiden Soekarno tidak
mengetahui isi surat Keputusan Presiden yang diterbitkan oleh Wakil Presiden.
Pasal 1 dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953 tersebut
hanya menetapkan Hari Raya Umum (Catatan: Terdiri dari 2 hari raya), Hari Raya
Islam (Catatan: Terdiri dari 6 hari raya ditambah 1 hari untuk Id’l Fitri hari
kedua) dan Hari Raya Kristen (Catatan: Terdiri dari 5 hari raya) serta 1 (satu)
Hari Raya Buruh (yang dirayakan setiap tanggal 1 Mei), sebagai hari libur
nasional.
Dengan demikian mulai 1 Januari 1953, hari libur umum yang berlaku
berjumlah seluruhnya 14 hari libur. Sesuai dengan isi paragraph Penjelasan dari
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953, paragraph ke-4
menyatakan sebagai berikut: "Hari-hari libur fakultatif ditiadakan. Pada
hari-hari Santa Maria (15 Agustus), Natal Kedua (26 Desember), permulaan
Ramadhan, Peringatan Angkatan Perang (5 Oktober), Pahlawan (10 November) dan
Tahun Baru Imlek, bagi yang berkepentingan diberi kebebasan untuk menjalankan
peribadatannya dengan lebih dahulu memberitahukan kepada Kepala Kantor yang
bersangkutan". Paragraph ke-4 tersebut dengan tegas meniadakan adanya hari
libur yang bersifat fakultatif. Bagi Pegawai etnis Tionghoa yang berkepentingan
untuk merayakan Hari Raya Tahun Baru Imlek diberi kebebasan untuk menjalankan
peribadatannya dengan syarat harus lebih dahulu memberitahukan kepada Kepala
Kantor yang bersangkutan.
Orang Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total untuk
merayakan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia kepada
Presiden Soeharto sekitar tahun 1966-1967 adalah Kristoforus Sindhunata alias
Ong Tjong Hay. Namun, Presiden Soeharto merasa usulan tersebut terlalu
berlebihan, dan tetap mengizinkan perayaan Imlek, adat istiadat, dan budaya
Tionghoa namun diselengarakan hanya di rumah keluarga Tionghoa dan di tempat yang
tertutup, hal inilah yang mendasari diterbikannya Inpres No. 14/1967.
Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi
Presiden No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan
keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan
mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang
Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat
Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh Perayaan Tradisi
dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan
sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian Barongsai
dan Liong dilarang dipertunjukkan.
Tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor
06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor
286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan yang masih
menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya
asimilasi. Hal ini didukung pula oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB).
LPKB menganjurkan keturunan Tionghoa, antara lain, agar :
- Mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa.
- Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli.
- Menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa, termasuk bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk larangan untuk perayaan tahun baru imlek.
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). BKMC berada di bawah BAKIN yang
menerbitkan tak kurang dari 3 jilid buku masing-masing setebal 500 halaman,
yaitu "Pedoman Penyelesaian Masalah Cina" jilid 1 sampai 3. Dalam hal
ini, pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Cina dan
kebiasaan serta kebudayaan Cina, termasuk agama, kepercayaan dan adat istiadat
Tionghoa sebagai "masalah" yang merongrong negara dan harus diselesaikan
secara tuntas.
Kemudian dengan diterbitkannya SE Mendagri No.477 / 74054 tahun 1978
tertanggal 18 Nopember 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama, Kepercayaan dan
Adat Istiadat Cina, yang berisi antara lain, bahwa pemerintah menolak untuk
mencatat perkawinan bagi yang Beragama Khonghucu dan penolakan pencantuman
Khonghucu dalam kolom Agama di KTP, yang didukung dengan adanya kondisi sejak
tahun 1965-an atas penutupan dan larangan beroperasinya sekolah-sekolah
Tionghoa, hal ini menyebabkan terjadi eksodus dan migrasi identitas diri
sebagian besar orang-orang Tionghoa ke dalam Agama Kristen sekte Protestan, dan
sekte Katolik, Buddha bahkan ke Islam. Demikian juga seluruh perayaan ritual
kepercayaaan, agama dan adat istiadat Tionghoa termasuk perayaan Tahun Baru
baru Imlek menjadi surut dan pudar.
Surat dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993
menyatakan larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Kemudian Perwakilan
Umat Buddha Indonesia (WALUBI) mengeluarkan Surat Edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93,
tertanggal 11 Januari 1993 yang menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari
raya agama Buddha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru
Imlek dengan menggotong Toapekong, dan acara Barongsai.
Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan
Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang pembatasan
Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres
tersebut, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama,
kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan Upacara-upacara Agama
seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara terbuka.
Pada Imlek 2551 Kongzili pada tahun 2000 Masehi, Majelis Tinggi Agama
Konghucu Indonesia (MATAKIN) mengambil inisiatif untuk merayakan Imlek secara
terbuka sebagai puncak Ritual Agama Khonghucu secara Nasional dengan mengundang
Presiden Abdurrahman Wahid untuk datang menghadirinya.
Pada tanggal 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan
No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional
Fakultatif.
Pada saat menghadiri perayaan Imlek 2553 Kongzili, yang
diselenggarakan Matakin dibulan Februari 2002 Masehi, Presiden Megawati
Soekarnoputri mengumumkan mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional.
Pengumuman ini ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek tertanggal
9 April.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari
Tahun Baru Imlek yang mulai berlaku sejak tanggal 9 April 2002 ditetapkan
karena adanya pertimbangan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan,
dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
hak asasi manusia, dan bahwa Tahun Baru imlek merupakan tradisi masyarakat Cina
yang dirayakan secara turun temurun di berbagai wilayah Indonesia. Selain itu,
mengingat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan Keputusan Presiden
Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, maka
ditetapkanlah Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional.
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia telah melakukan inventarisasi
hari-hari penting di Indonesia, dan mengelompokkannya ke dalam 5 (lima)
kelompok, yaitu: 1. Hari-Hari Besar Nasional yang Ditetapkan oleh Presiden; 2.
Hari-Hari yang Ditetapkan oleh Masing-Masing Menteri/Kepala Lembaga; 3.
Hari-Hari yang Ditetapkan/Disepakati oleh Masing-Masing Lembaga/Komunitas
Tertentu; dan 4. Hari-Hari Besar Keagamaan. Hari Tahun Baru Imlek masuk ke
dalam kelompok Hari-Hari Besar Nasional, dan kelompok Hari-Hari Besar
Keagamaan. Hari Tahun Baru Imlek merupakan 1 (satu) dari 42 (empat puluh dua)
Hari-Hari Besar Nasional yang Ditetapkan oleh Presiden, dan merupakan 1 (satu)
dari 11 (sebelas) Hari-Hari Besar Keagamaan di Indonesia. Di dalam kolom
keterangan yang disusun oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia mengenai
Hari-Hari Besar Keagamaan di Indonesia dinyatakan bahwa Hari Tahun Baru Imlek
dirayakan hanya oleh Umat Tionghoa.
Praktik perayaan tahun baru
Imlek di Indonesia
Tahun baru Imlek biasanya berlangsung sampai 15 hari. Satu hari
sebelum atau pada saat hari raya Imlek, bagi etnis Tionghoa adalah suatu
keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti dalam upacara
kematian, memelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama
almarhum leluhur), bersembahyang leluhur seperti yang dilakukan di hari Ceng
Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur). Oleh sebab
itu, satu hari sebelumnya atau pada saat Hari Raya Imlek para anggota keluarga
akan datang ke rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu)
leluhur untuk bersembahyang, atau mengunjungi rumah abu tempat penitipan
lingwei leluhur untuk bersembahyang. Sebagai bentuk penghormatan dan sebagai
tanda balas-budi maka pada saat acara sembahyang dilakukan pula persembahan
jamuan makan untuk arwah para leluhur. Makna dari adanya jamuan makan untuk
arwah leluhur adalah agar kegembiraan dan kebahagian saat menyambut hari raya
Imlek yang dilakukan di alam manusia oleh keturunannya juga dapat turut serta
dinikmati oleh para leluhur di alam lain. Selain jamuan makan juga dilakukan
persembahan bakaran Jinzhi (Hanzi=金紙;sederhana=金纸;hanyu
pinyin=jīnzhǐ;Hokkien= kimcoa;harafiah=kertas emas) yang umumnya dikenal
sebagai uang arwah (uang orang mati) serta berbagai kesenian kertas (紙紮)
zhǐzhā (pakaian, rumah-rumahan, mobil-mobilan, perlengkapan sehari-hari, dan
pembantu). Makna persembahan bakaran Jinzhi dan zhǐzhā yang dilakukan oleh
keturunannya adalah agar arwah para leluhur tidak menderita kekurangan serta
sebagai bekal untuk mencukupi kebutuhannya di alam lain. Praktik jamuan makan
dan persembahan bakaran Jinzhi dan zhǐzhā yang dilakukan oleh keturunannya
untuk arwah para leluhur di alam lain merupakan bentuk perwujudan tanda bakti
dan balas-budi atas apa yang telah dilakukan oleh orang-tuanya saat masih hidup
kepada anak-anaknya di alam manusia.
Pada malam tanggal 8 menjelang tanggal 9 pada saat Cu Si (jam
23:00-01:00) Umat melakukan sembahyang lagi. Sembahyang ini disebut Sembahyang
“King Thi Kong” (Sembahyang Tuhan Yang Maha Esa) dan dilakukan di depan pintu
rumah menghadap langit lepas dengan menggunakan altar yang terbuat dari meja
tinggi berikut sesaji, berupa Sam-Poo (teh, bunga, air jernih), Tee-Liau (teh
dan manisan 3 macam), Mi Swa, Ngo Koo (lima macam buah), sepasang Tebu, dan
tidak lupa beberapa peralatan seperti Hio-Lo (tempat dupa), Swan-Loo (tempat
dupa ratus/bubuk), Bun-Loo (tempat menyempurnakan surat doa) dan Lilin Besar.
Pada hari Cap Go Meh, tanggal 15 Imlek saat bulan purnama, Umat
melakukan sembahyang penutupan tahun baru pada saat antara Shien Si (jam
15:00-17:00) dan Cu Si (jam 23:00-01:00). Upacara sembahyang dengan menggunakan
Thiam hio atau upacara besar ini disebut Sembahyang Gwan Siau (Yuanxiaojie).
Sembahyang kepada Tuhan adalah wajib dilakukan, tidak saja pada hari-hari
besar, namun setiap hari pagi dan malam, tanggal 1 dan 15 Imlek dan hari-hari
lainnya.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru_Imlek
Comments
Post a Comment